Semoga Allah memberikan taufik pada kita untuk merenungkan surat berikut ini.
أَلْهَاكُمُ
التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ
تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ
تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ
لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ
النَّعِيمِ (8)
“Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2)
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
(3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (4) Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (5) niscaya
kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan sesungguhnya kamu
benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (7) kemudian kamu pasti
akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu) (8).” (QS. At Takatsur: 1-8)
Saling Berbangga dengan Anak dan Harta
Inilah
watak manusia saling berbangga dengan keturunan dan harta. Lihatlah
bagaimana jika kita memiliki anak yang pintar, pasti akan dibanggakan.
Begitu pula ketika kita memiliki harta mewah, sama halnya dengan hal
tadi.
Ibnu
Jarir menyebutkan tafsiran ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” dari
Qotadah. Maksud ayat tersebut adalah seperti menyatakan, “Kami lebih
banyak dari keturunan si fulan, atau keturunan A lebih unggul dari
keturunan B. Kebanggaan itu semua melalaikan hingga mereka mati dalam
keadaan sesat.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 598-599)
Yang dimaksud berbangga di sini adalah dalam harta sebagaimana tafsiran sebagian ulama. (Lihat Tafsir Ath Thobari, 24: 599)
Ibnu
Katsir berkata, “Kecintaan terhadap dunia, kenikmatan dan perhiasannya
telah melalaikan kalian dari mencari akhirat. Hal itu pun berlanjut dan
baru berhenti ketika datang maut dan ketika berada di alam kubur saat
kalian menjadi penghuni alam tersebut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14:
442)
Al
Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan
anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)
Harta dan Kebanggaan akan Sirna
Berbangga-bangga seperti di atas sehingga membuat lalai dari ketaatan baru berhenti ketika seseorang masuk ke alam kubur.
Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah
melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
يَقُولُ
ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى - قَالَ - وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ
مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ
تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
“Manusia
berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah
benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap
begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang?
Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ
الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ
فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى
ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ
“Hamba
berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia
makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang
sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan
diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim no. 2959)
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ
الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ،
يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ
، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Yang
akan mengiringi mayit (hingga ke kubur) ada tiga. Yang dua akan
kembali, sedangkan yang satu akan menemaninya. Yang mengiringinya tadi
adalah keluarga, harta dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali.
Sedangkan yang tetap menemani hanyalah amalnya.” (HR. Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 2960)
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ وَالأَمَلُ
“Jika
manusia berada di usia senja, ada dua hal yang tersisa baginya: sifat
tamak dan banyak angan-angan.” (HR. Ahmad, 3: 115. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Al
Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq menyebutkan biografi Al Ahnaf
bin Qois –nama yang biasa kita kenal adalah Adh Dhohak-, bahwasanya
beliau melihat dirham di genggaman tangan seseorang. Lantas Al Ahnaf
bertanya, “Dirham ini milik siapa?” “Milik saya”, jawabnya. Al Ahnaf
berkata, “Harta tersebut jadi milikmu jika engkau menginfakkannya untuk
mengharap pahala atau dalam rangka bersyukur.” Kemudian Al Ahnaf berkata
seperti perkataan penyair,
أنتَ للمال إذا أمسكتَه ... فإذا أنفقتَه فالمالُ لَكْ ...
Engkau akan menjadi budak harta jika engkau menahan harta tersebut,
Namun jika engkau menginfakkannya, harta tersebut barulah jadi milikmu. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 443)
Kenapa
dikatakan harta yang disedekahkan atau disalurkan sebagai nafkah itulah
yang jadi milik kita? Jawabnya, karena harta seperti inilah yang akan
kita nikmati sebagai pahala di akhirat kelak. Sedangkan harta yang kita
gunakan selain tujuan itu, hanyalah akan sirna dan tidak bermanfaat di
akhirat kelak.
Sekali-kali Lihatlah Orang di Bawahmu
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
أَمَرَنِي
خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ
الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ
هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي
“Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): (1) Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau
memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam
masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang
berada di atasku. ...” (HR. Ahmad, 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا
إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ
فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah
orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan
janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah
ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat
Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
Al
Ghozali –rahimahullah- mengatakan, “Setan selamanya akan memalingkan
pandangan manusia pada orang yang berada di atasnya dalam masalah dunia.
Setan akan membisik-bisikkan padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang
semangat dalam mencari dan memiliki harta supaya engkau dapat bergaya
hidup mewah[?]’ Namun dalam masalah agama dan akhirat, setan akan
memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya (yang jauh
dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa rendah
dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.”
(Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
Mengapa Mesti Berbangga-bangga?
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta hanyalah titipan.
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta yang bermanfaat jika digunakan dalam kebaikan.
Semua yang digunakan selain untuk jalan kebaikan, tentu akan sirna dan sia-sia.
Seharusnya
yang kita banggakan adalah bagaimana keimanan kita, bagaimana ketakwaan
kita di sisi Allah, bagaimana kita bisa amanat dalam menggunakan harta
titipan ilahi.
Al Qurthubi pernah menerangkan mengenai ayat berikut ini,
آَمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ
فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
(QS. Al Hadiid: 7). Beliau berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa harta
kalian bukanlah miliki kalian pada hakikatnya. Kalian hanyalah bertindak
sebagai wakil atau pengganti dari pemilik harta tersebut yang
sebenarnya. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan yang ada dengan
sebaik-baiknya untuk memanfaatkan harta tersebut di jalan yang benar
sebelum harta tersebut hilang dan berpindah pada orang-orang setelah
kalian. ”
Lantas
Al Qurtubhi menutup penjelasan ayat tersebut, “Adapun orang-orang yang
beriman dan beramal sholih di antara kalian, lalu mereka menginfakkan
harta mereka di jalan Allah, bagi mereka balasan yang besar yaitu
SURGA.” (Tafsir Al Qurthubi, 17/238)
Raihlah surga Allah, raihlah jannah-Nya. Itulah yang mesti kita cari dan kita kejar.
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Sesungguhnya kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali.” (QS. Al Ma’idah: 48)
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة
“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”
Ya
Allah, jauhkanlah kami dari sifat sombong dan membanggakan diri dalam
hal harta dan dunia. Karuniakanlah pada kami sifat qona’ah, selalu
merasa berkecukupan.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina”
(Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat
‘afaf –menjauhkan diri dari hal haram- dan sifat ghina –hidup
berkecukupan-) (HR. Muslim no. 2721)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar